Merupakan
jasa yang ada pada bank syari’ah dalam hal menyelesaikan urusan yang berkaitan
tentang hutang piutang dimana hal tersebut terjadi antar bank dan dilaksanakan
pada waktu yang telah ditentukan berdasarkan tempat terjadinya proses tersebut.
Sistem
pelaksanaan kliring dapat dibagi menjadi 2, sebagai berikut:
1.Local area
Hal ini berarti,proses yang mana pada penyelesaian hutang piutang terjadi hanya dilakukan antar bank dan warkat
kliringnya dalam lingkup perbankan setempat
2.Inter city
Sama halnya dengan local area, dimana proses penyelesaian hutang piutang
yang terjadi antar bank dengan perbedaan bahwa warkat kliringnya berasal dari
lingkungan perbankan diluar bank setempat.
Mengenai
macam-macam transaksinya jasa kliring terbagi menjadi,
1.Bahwa penyerahan dana oleh nasabah/
bank akan disalurkan ke nasabah/bank lainnya.
2.Adanya suatu penagihan yang dilakukan
bank untuk ditujukan pada bank lainnya.
Kemudian
semua hal tersebut tentu terdapat tahapan-tahapannya/ mekanismenya.
Demikianlah, mekanisme yang telah ditetapkan sesuai dengan aturan yang ada pada
perbankan, dan semua landasan tersebut diatur di dalam Bank Indonesia apabila
semua transaksi tersebut dilakukan perbankan yang terdapat di Negara Indonesia,
Mekanismenya
sebagai berikut,
1.Ada kliring penerimaan,
Pada tahapan ini, bank yang bertindak sebagai pengirim danbertugas
menyerahkan warkat-warkat pelimpahan dana beserta tagihannya kepada bank
lainnya yang bertindak disisi penerima.
2.Ada kliring ditolak/retur,
Kemudian pada tahapan ini adalah sebagai respon dari tahap pertama.
Setelah warkat-warkat yang diterima bank disisi penerima lalu bank pada bagian
ini menelaah warkat pengiriman tersebut dan dilanjutkan dengan penterahan
warkat yang tertolak kepada bank pengirim dengan disertai alasan-alasan
penolakannya.
3.Ada penyelesaian kliringnya.
Disinilah tahapan akhir yang harus ditempuh dalam pengetahui dana yang
masuk dan dana yang keluar transaksi kliring suatu bank,yakni:
a)Apabila tagihan(dana masuk) melebihi
hutang (dana keluar), maka keadaan demikian dikatakan menang kliring. Atas
kemenangan inii, kelebihan dana dapat dilimpahkan ke kantor lain (kantor pusat
atau cabang yang sama di kota lain dengan berbagai alas an, diantaranya guna
menutup kekalahan klirng di Cabang dimaksud).
b)Namun bila kewajiban (dana kelluar)
hari itu jumlah melbihi tagihan (dana masuk), maka di hari tersebut (cabang)
bank dimaksud dikatakan kalah kliring. Atas ke kalahan kliring ini apakah
ditutup dengan pinjaman dana bank lain atau ditutup dari dana yang berasal dari
cabang bank yang sama di tempat lain.
Hal tersebut sangtlah mudah dilakukan, kenapa??karena saya telah melakukannya,,ya,ya,ya/ memang benar teks yang berjalan pada blog sangat membuat ketertarikan sendiri, le's go to view
kita dapat lakukan dengan cara menuliskan
tag <marquee>???</marquee>
mengganti ??? dengan tulisan yang kita suka example this down:
Diatas adalah contoh tulisan ke bawah secara lambat dengan
tag <marquee color=#ffff00 behavior="scroll" scrollamount="1" height="30px" direction="Down"> Perbankan Syari'ah (banker) </marquee>
sekarang membuat teks berjalan secara zig-zag, bagaimana caranya,, mari lihat dibawah ini:
<marquee behavior="alternate" direction="right" height="20px"><marquee direction="left"> Perbankan Syari'ah (banker) </marquee></marquee>
mudahkan caranya,,selamat mencoba dengan kesabaran okey friend?///
Selasa, 08 Mei 2012***pada pertemuan kali ini
saya dalam memahami materi kuliah tentang sistem operasional bank dalam
teorinya ilmu ini sangatlah mudah dipelajari tetapi hal tersebut relatif karena
pada dasar sesesuatu perbuatan harus diawali dengan rasa senang.
Dapat dilhat dalam perspektif secara global
yang telah lama berdiri di dalam sistem perekonomian masyarakat pada abad lalu
sampai sekarang masih terstruktur. Perkembangan sistem ekonomi yang telah lama
ini terus menerus berkembang dan semakin pesat diranah masyarakat. Boleh
dibilang sistem ini (konvensional) terus mengembangkan berbagai macam
pengembangan untuk mengikuti peradaban manusia yang terus berkembang dari segi
pemikiran / rasio maupun kepercayaan.
Rabu, 9 Mei 2012***Dalam hal ini yang menjadi
tolak ukur ialah uang, yang fungsinya sebagai alat tukar yang sah dalam
transaksi antara para pelaku ekonomi, penjual dan pembeli. Dan uang itu pun menjadi momok utama yang bergerak dalam
aktivitas perekonomian, tidak hanya sebagai alat tukar tetapi uang juga dapat dijadikan alat pemuas diri /
utility person, sebagai nilai atas suatu kekayaan yang konkret secara subyektif.
Kemudian bagaimana pandangan sistem pada bank
yang bisnis utama dalam transaksi yang ada di dalamnya bersumber dari dana,
bahkan keseluruhan transaksi yang dilakukan dengan menggunakan alat guna berupa
uang. Mungkin sering terlintas bahwa bank itu gudangnya uang jadi apabila bank
tidak memiliki uang yang besar dalam modal usahanya maka bank tersebut dapat
dikategorikan sebagai bank likuidasi. Walaupun bank adalah pusat dari tempatnya
uang mengendap tetapi dalam sistemnya telah terdapat aturan yang membatasi
bank-bank tersebut dalam mendistribusikan sumber dana pada transaksinya. Aturan
itulah yang menjadikan seluruh bank yang ada harus mematuhi kebijakan yang
diberikan bank pusat, yang pada negara Indonesia adalah Bank Indonesia. Yang
dalam kebijakan tersebut memuat, apabila bila ada pelanggaran-pelanggaran yang
mengakibatkan perihal lain maka bank yang melanggar dapat terkena sanksi atas
pelanggaran yang dilakukan dan sanksi yang diberikan sesuai dengan pelanggaran
pihak bank terdakwah.
Sistem dalam
perekonomian islam tidak semata-mata berperan sebagai suatu tuntutan yang harus
dipatuhi secara menyeluruh dengan konteks bahwa apa yang telah ditentukan oleh
kebijakan pemerintah apabila tidak sesuai Al Qur’an dan As Sunnah belum dapat
diterapkan dalam kehidupan bermasyarskat.
Dan perbedaan
yang mendasar pada sistem perekonomian konvensional dengan islam atau
katakanlah syari’ah, yakni pada pengumpulan dana dari pihak ketiga dan
penditribusiannya. Jika dalam sistem konvensional pengumpulan dananya bersumber
dari modal lembaga sendiri, hasil pengkreditan, dan dana pihak ketiga,
sedangkan dalam sistem syari’ah pengumpulan dananya / funding bersumber dari
modal sendiri, bagi hasil dari pembiayaan, dan dana pihak ketiga. Dari
pengumpulan dana sekilas tidak ada perbedaan akan tetapi dalam hal hasil yang
didapat dari dana pengembangan usaha bank terdapat celah yang membuka sebuah
perbedaan antara sistem kinerja bank konvensional/bank umum dengan bank yang
sistem kinerjanya atas dasar hukum syar’I sesuai ketentuan yang ada pada Al
Qur’an dan As Sunnah. Kemudian untuk pendistribuasian dana tersebut pada bank
konvensional didasari atas keuntungan yang semaksimal mungkin tanpa
menghiraukan keadaan semua pihak yang bersangkutan. Dalam hal ini bank yang
menerapkan sistem revenue sharing dan walaupun realitas yang berkata lain
dengan hal tersebut, secara menyeluruh lapisan masyarakat menerimanya tanpa
tahu apa yang terjadi apabila mengunakan system tersebut. Tentu saja itu tidak
terlalu berpengaruh terhadap lingkungan masyarakat yang notabene agama non
islam tapi lain halnya apabila lingkup masyarakat yang menerapkan sistem
revenue maximazer notabene agama islam murni. Berbeda dari bank konvensional
yang menerapkan sistem revenue sharing, bank syari’ah yang tumbuh berkembang
secara dinamis masih memiliki peluang yang sangat tinggi dalam menjajahi dunia
perekonomian berbagai Negara yang belum seluruh menerapkan sistem perekonomian
yang berlandaskan Al Qur’an dan As Sunnah. Karena pada bank syari’ah sistem
yang digunakan berupa prinsip bagi hasil dimana dalam penyertaan keuntungannya
diambil dari kesepakatan antar berbagai pihak baik dari pihak nasabah maupun
pihak bank atas keikutsertaan modal dari pihak supplyer.
Terminologi dari
bank konvensional, dalam peranan bank dengan pihak deposan dan pihak pengkredit
menggunakan bahasa kreditur dan debitur, sedangkan dari bank syari’ah
menggunakan termin nasabah dan pemodal antara pihak bank/shahibul maal dengan
pihak pengambil dana pembiayaan/mudharib dalam akad mudharabah.
Dari hasil yang
diperoleh apabila peminjam dana/kreditur dalam bank konvensional dituntut
adanya bunga yang ditangguhkan pada peminjam dan kewajiban yang harus dibayar
oleh bank pada pihak ketiga/investor. Selain itu, bank tersebut dalam penentuan
laba yang diperoleh pada investor dihitung dengan prosentase nilai bunga yang
mengginyurkan bagi pihak investor dan penentuan prosentase tersebut semata-mata
hanya dijalankan secara spekulasi, perkiraan yang dapat dihitung, dan
memberikan return yang belum jelas arus usaha dana yang diinventasikan. Tindakan
Itu semua sangat dilarang dalam hukum syara’, karena mendirikan suatu usaha
yang belum jelas laba pendapatannya. Disinilah sistem pada bank syari’ah lebih
dapat bertahan dalam krisis moneter abad ke-19. Dimana pendapatan yang didapat
pada masing-masing pihak mendapatkan revenue yang sesuai dengan kontribusi
antar beberapa pihak yang bersangkutan, dengan menggunakan sistem bagi
hasil/syirkah. Kemudian, prosentase yang digunakan bukan prosentase pada nilai
bunga tetapi mengunakan prosentase pada nilai nisbah bagi hasil dan itu pun
terbentuk dari kesepakatan yang ada pada iqrar ijab qobul. Dan iqrar tersebut
harus dijalankan sesuai ketentuan kemudian dijalankan dengan rasa suka sama
suka, senang sama senang, dan menjalin kemitraan usaha yang menuju pada
silahturahmi antar sesama umat muslim atau non muslim.
‘Aqidah (اَلْعَقِيْدَةُ) menurut bahasa Arab (etimologi) berasal dari kata al-‘aqdu (الْعَقْدُ) yang berarti ikatan, at-tautsiiqu(التَّوْثِيْقُ)
yang berarti kepercayaan atau keyakinan yang kuat, al-ihkaamu (اْلإِحْكَامُ)
yang artinya mengokohkan (menetapkan), dan ar-rabthu biquw-wah (الرَّبْطُ بِقُوَّةٍ) yang berarti mengikat dengan kuat.
[1] Sedangkan menurut istilah (terminologi): ‘aqidah adalah iman yang teguh dan pasti, yang tidak ada keraguan sedikit pun bagi orang yang
meyakininya.
Jadi, ‘Aqidah Islamiyyah adalah keimanan
yang teguh dan bersifat pasti kepada Allah ازوجلّ dengan segala pelaksanaan ke-wajiban,
bertauhid [2] dan taat kepada-Nya, beriman kepada Malaikat-malaikat-Nya,
Rasul-rasul-Nya, Kitab-kitab-Nya, hari Akhir, takdir baik dan buruk dan
mengimani seluruh apa-apa yang telah shahih tentang Prinsip-prinsip Agama
(Ushuluddin), perkara-perkara yang ghaib, beriman kepada apa yang menjadi ijma’ (konsensus) dari
Salafush Shalih, serta seluruh berita-berita qath’i (pasti), baik secara ilmiah
maupun secara amaliyah yang telah ditetapkan menurut Al-Qur'an dan As-Sunnah
yang shahih serta ijma’ Salafush Shalih.
2. Bukti
Adanya Allah
Adanya Allah swt adalah
sesuatu yang bersifat aksiomatik (sesuatu yang kebenarannya telah diakui, tanpa
perlu pembuktian yang bertele-tele). Namun, di sini akan dikemukakan dalil-dalil
yang menyatakan wujud (adanya) Allah swt, untuk memberikan pengertian secara
rasional. Mengimani Wujud Allah Subhanahu wa Ta’ala Wujud Allah telah
dibuktikan oleh fitrah, akal, syara’, dan indera.
1. Dalil Fitrah
Manusia diciptakan
dengan fitrah bertuhan, sehingga kadangkala disadari atau tidak, disertai
belajar ataupun tidak naluri berketuhanannya itu akan bangkit. Firman Allah
Dan (ingatlah), ketika
Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah
mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): “Bukankah Aku ini
Tuhanmu?” Mereka menjawab: “Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi”.
(al-A’raf:172)
Dan sungguh jika kamu
bertanya kepada mereka: “Siapakah yang menciptakan mereka, niscaya mereka
menjawab: “Allah”, maka bagaimanakah mereka dapat dipalingkan (dari menyembah
Allah)?, (az-Zukhruf:87)
Setiap anak dilahirkan
dalam keadaan fitrah, dan sesungguhnya kedua orang tuanyalah yang menjadikannya
Yahudi, Nasrani atau Majusi (HR. Al Bukhari)
Ayat dan hadis tersebut
menjelaskan kondisi fitrah manusia yang bertuhan. Ketuhanan ini bisa difahami
sebagai ketuhanan Islam, karena pengakuannya bahwa Allah swt adalah Tuhan.
Selain itu adanya pernyataan kedua orang tua yang menjadikannya sebagai
Nasrani, Yahudi atau Majusi, tanpa menunjukkan kata menjadikan Islam terkandung
maksud bahwa menjadi Islam adalah tuntutan fitrah. Dari sini bisa disimpulkan
bahwa secara fitrah, tidak ada manusia yang menolak adanya Allah sebagai Tuhan
yang hakiki, hanya kadang-kadang faktor luar bisa membelokkan dari Tuhan yang
hakiki menjadi tuhan-tuhan lain yang menyimpang.
2. Dalil Akal
Akal yang digunakan
untuk merenungkan keadaan diri manusia, alam semesta dia dapat membuktikan
adanya Tuhan. Di antara langkah yang bisa ditempuh untuk membuktikan adanya
Tuhan melalui akal adalah dengan beberapa teori, antara lain;
3. Dalil Naqli
Meskipun secara fitrah dan akal manusia telah mampu menangkap
adanya Tuhan, namun manusia tetap membutuhkan informasi dari Allah swt untuk
mengenal dzat-Nya. Sebab akal dan fitrah tidak bisa menjelaskan siapa Tuhan
yang sebenarnya.
Allah menjelaskan tentang jati diri-Nya di dalam Al-Qur’an;
Sesungguhnya Tuhan kamu ialah Allah yang telah menciptakan langit
dan bumi dalam enam masa, lalu Dia bersemayam di atas `Arsy. Dia menutupkan
malam kepada siang yang mengikutinya dengan cepat, dan (diciptakan-Nya pula)
matahari, bulan dan bintang-bintang (masing-masing) tunduk kepada perintah-Nya.
Ingatlah, menciptakan dan memerintah hanyalah hak Allah. Maha Suci Allah, Tuhan
semesta alam.(al-A’raf:54)
Ayat ini menjelaskan bahwa Allah swt adalah pencipta semesta alam
dan seisinya, dan Dia pulalah yang mengaturnya.
4. Dalil Inderawi
Bukti inderawi tentang wujud Allah swt dapat dijelaskan melalui dua
fenomena:
Definisi
Ibadah
Ibadat atau Ibadah adalah sebuah kata yang diambil dari bahasa Arab.
Arti kata ini adalah:
perbuatan atau
penyataan bakti terhadap Allah atau Tuhan yang
didasari oleh peraturan agama.
segala usaha
lahir dan batin yang sesuai perintah agama yang harus
dituruti pemeluknya.
Pengertian ibadah dapat ditemukan melalui pemahaman bahwa :
Kesadaran beragama
pada manusia membawa konsekwensi manusia itu melakukan penghambhaan kepada
tuhannya. Dalam ajaran Islam manusia itu diciptakan untuk menghamba kepada
Allah, atau dengan kata lain beribadah kepada Allah (Adz-Dzaariyaat QS.
51:56).
Manusia yang
menjalani hidup beribadah kepada Allah itu tiada lain manusia yang berada
pada shiraathal mustaqiem atau jalan yang lurus (Yaasiin QS 36:61)
Sedangkan
manusia yang berpegang teguh kepada apa yang diwahyukan Allah, maka ia
berada pada shiraathal mustaqiem atau jalan yang lurus (Az Zukhruf
QS. 43:43).
Dengan demikian apa yang disebut dengan manusia hidup beribadah
kepada Allah itu ialah manusia yang dalam menjalani hidupnya selalu berpegang
teguh kepada wahyu Allah. Jadi pengertian ibadah menurut Al Quran tidak hanya
terbatas kepada apa yang disebut ibadah
mahdhah atau Rukun Islam saja, tetapi cukup luas seluas aspek
kehidupan yang ada selama wahyu Allah memberikan pegangannya dalam persoalan
itu.
Serba-serbi
Ibadah
Tugas manusia di dunia adalah ibadah kepada Allah SWT (51:56).
Meskipun merupakan tugas, tetapi pelaksanaan ibadah bukan untuk Allah (51 :57),
karena Allah tidak memerlukan apa-apa. Ibadah pada dasarnya adalah untuk
kebutuhan dan keutamaan manusia itu sendiri.
Ibadah ('abada : menyembah, mengabdi) merupakan bentuk penghambaan
manusia sebagai makhluk kepada Allah Sang Pencipta. Karena penyembahan/pemujaan
merupakan fitrah (naluri) manusia, maka ibadah kepada Allah membebaskan manusia
dari pemujaan dan pemujaan yang salah dan sesat.
Dalam Islam ibadah memiliki aspek yang sangat luas. Segala sesuatu
yang dicintai dan diridhai Allah baik berupa perbuatan maupun ucapan, secara
lahir atau batin, semua merupakan ibadah. Lawan ibadah adalah ma'syiat.
Ibadah ada dua macam :
1. Ibadah Maghdhah (khusus)
yaitu ibadah yang ditentukan cara dan syaratnya secara detil dan biasanya
bersifat ritus. Misalnya : shalat, zakat, puasa, haji, qurban, aqiqah. Ibadah
jenis ini tidak banyak jumlahnya.
2. Ibadah 'Amah (Muamalah)
Yaitu ibadah dalam arti umum, segala perbuatan baik manusia. Ibadah ini tidak
ditentukan cara dan syarat secara detil, diserahkan kepada manusia sendiri.
Islam hanya memberi perintah/anjuran, dan prisnip-prinsip umum saja. Ibadah
dalam arti umum misalnya : menyantuni fakir-miskin, mencari nafkah,
bertetangga, bernegara, tolong-menolong, dll.
Sesuatu akan bernilai ibadah, jika memenuhi persyaratan :
1. Iman kepada Allah dan Hari akhir (2 :62). Karenanya amal orang
kafir seperti fatamorgana.
2. Didasari niat ikhlas (murni) karena Allah, sebagaimana hadis :
Sesungguhnya
amal itu tergantung niatnya. dan bagi segala sesuatu tergantung dari apa yang
ia niatkan.
3. Dilakukan sesuai dengan petunjuk Allah.
Untuk ibadah maghdhah : harus sesuai dengan petunjuk Al-Quran dan Hadis, Kreativitas
justru dilarang. Sehingga berlaku prinsip " Segala ssesuatu dilarang, kecuali yang
diperintahkan". Kita dilarang membuat ritus-ritus baru yang tidak
ada dasarnya.
Untuk mu'amalah : harus sesuai dengan jiwa dan prinsip prinsip ajaran Islam.
Pelaksanaannya justru memerlukan kreativitas manusia. Sehingga berlaku prinsip
" Segala-sesuatu
boleh, kecuali yang dilarang"
Ibadah pada dasarnya merupakan pembinaan diri menuju taqwa. (2 :21). Setiap
upaya ibadah memiliki pengaruh positif terhadap keimanan, lawanya adalah
maksyiat yang berpengaruh negatif terhadap keimanan.
Iman bertambah
dan berkurang. Bertambahnya iman dengan ibadah, berkurang karena ma'syiat
(Hadis)
Setiap ibadah juga memiliki hikmah/tujuan-tujuan mulia, seperti :
- Shalat mencegah perbuatan keji dan mungkar (29 : 45)
- Puasa untuk mencapai taqwa (2 :183)
- Zakat untuk mensucikan harta dan jiwa dari sifat kikir dan tamak
( 9: 103)
- Haji sebagai sarana pendidikan untuk menahan diri dari perkataan
dan perbuatan kotor. ( 2;197)
Selain itu juga memiliki keluasan dan keutamaan-keutamaan
Sesuatu yang dilakukan, dikatakan, dan
diberi tindakan lanjutan dari apa yang telah terjadi bahwasanya dalam membuat
suatu barang atau menghasilkan barang setengah jadi dan barang jadi harus
sesuai dengan akad yang telah disepakati. Untuk memproduksi suatu barang harus
melihat kondisi barang yang dihasilkan, apakah sesuai dengan yang diminta
konsumen atau tidak. Dan semuanya itu juga harus ada sebuah kontrak kerja atau
kontrak perjanjian yang mengawali suatu barang yang nantinya kan dihasilkan.
Tidak ada kecurang pada saat kontrak atau setelah barang dihasilkan.
Nilai
kejujuran dalam proses produksivitas harus dimunculkan pada para pelaku
produksi. Kejujuran adalah dasar pokok dalam melakukan produktivitas karena
sifat inilah yang dalam islam harus ada suatu transaksi dan perjanjian kontrak
kerja atas barang yang akan diproduksi. Apabila tingkat kebutuhan masyarakat
atas suatu barang tertentu meningkat, maka produksi akan barang tertentu juga
ikut meningkat dengan landasan sesuai yang dibutuhkan masyarakat saja.
Sama
halnya dengan menepati sebuah janji yang telah diikrarkan kepada orang lain.
Jujur menjadi sebuah acuan atau tolak ukur apakah janji itu dapat ditepati atau
tidak.
Memenuhi takaran, ketepatan, kelugasan,
dan kebenaran
Tidak mendzalimi barang yang telah
dihasilkan, yakni membuat suatu barang yang secukupnya tidak melebihi batas
sehingga barang yang dihasilkan tidak terpakai atau mubadzir bahkan akan
dibuang. Dalam islam hal itu harus ada pengawasan tersendiri melalui kesadaran
diri sendiri dan kepedulian terhadap orang yang membutuhkan bukan orang yang
berhasrat untuk menginginkan produk tersebut.
Dalam
produksi, barang pun tidak hanya menghasilkan barang tetapi harus sesuai dengan
perbandingan antara hargabarang yang
ditawarkan dengan kuantitas yang diberikan. Takaran tersebut harus mencapai
tingkat mashlahah produksi yang sesuai, tidak melebih-lebihkan atau
menguranginya. Karena hal tersebut dapat merugikan diri sendiri dan orang lain.
Tidak
semestinya, apabila menghasilkan barang jadi menggunakan bahan yang dalam
takarannya sedikit dikurangi tetapi saat membeli bahan produksi dengan takaran
yang lebih. Mungkin sikap produksi seperti inilah yang harus diubah dan
meluruskan dengan berpedoman pada al-qur’an dan as sunnah
Adil dalam bertransaksi
Konteks adil yang ada pada nilai islam
dalam produksi dapat dijabarkan dengan memberlakukan barang hasil produksi
dengan selayaknya. Pada produksi paham benar tentang menghasilkan suatu barang
tapi belum tentu barang yang dihasilkan sesuai dengan transaksi yang ada dalam
islam secara khusus. Menjadikan barang yang dihasilkan itu sebagai kebutuhan
yang semestinya agar dapat mencakup di berbagai kalangan masyarakat bukun hanya
dikalangan menengah ke atas.
Sama
halnya dengan transaksi jual beli antara penjual dan pembeli, dalam produksi
pun juga ada nilai suka sama suka apabila barang itu akan dhasilkan. Yang
membedakan adalah nilai yang barang yang harus dipertanggung jawabkan oleh
produsen atas barang yang diproduksinya, apakah sesuai atau belum sesuai.
Mengikuti syarat sah dan rukun akad
Di dalam menghasilkan suatu barang yang
dibutuhkan oleh semua kalangan masyarakat menjadi sebuah syarat sah atas segala
hal yang berhubungan dengan produksi barang tersebut. Sebelum akad terjadi
dalam proses produksi secara syari’ah, semua pihak yang bersangkutan dalam
proses produksi harus mengikuti aturan sahnya akad. Tidak diperkenankan
meninggalkannya karena akan mempengaruhi halal dan tidaknya suatu barang yang akan
diproduksi. Nilai ini juga melibatkan pihak-pihak yang akan melakukan akad dan
semuanya sesuai dengan ketentuan yang telah di atur dalam syariat.
Untuk
itulah syarat dalam sebuah akad harus dibentuk serta dijalankan sebagaimana
mestinya.setelah semua syarat akad terpenuhi masih terdapat kewajiban lain
yakni saat akad itu dijalankan, sudah tentu secara syar’i. Semua hal ini adalah
suatu proses agar akad tersebut dapat terlaksanakan dengan penuh rasa ikhlas
dan ihsan.
Dan
keduanya tidak dapat dipisahkan antara yang satu dengan yang lainnya. Perpaduan
inilah yang membuat sebuah akad menjadi lebih bernilai dalam pandangan islam.
Menghindari jenis dan proses produksi
yang diharamkan dalam islam
Tidak
mendekati hal-hal yang dalam ketentuan islam sudah pasti bahwa itu diharamkan
baik pengelolaan, pembentukan, dan pelaksanaannya. Pada konteks ini islam sudah
memberi batasan-batasan yang sesuai menyangkut berbagai hal, seperti
pencampuran barang haram ke dalam barang produksi dan menggantikan bahan produksi
halal dengan yang haram karena berbagai faktor pendukungnya. Semuanya itu dapat
terjadi apabila pelaku-pelaku produksi barang (produsen dan pekerja) tidak
menempatkan dengan hati-hati.
Penentuan
akan barang yang akan diproduksi menjadi suatu pilihan dalam mengelola barang
agar menjadi barang yang bermanfaat dan memberikan keuntungan yang besar tanpa
merugikan orang lain. Perlu dipikirkan kembali dampak yang akan terjadi dalam
memproduksi barang tertentu. Memperhitungkan antara hal-hal yang berkaitan dengan
jenis barang dan proses pembuatan barang tersebut.
Pembayaran upah tepat waktu dan layak
Bahwa
membayar upah yang telah ditetapkan produsen kepada pekerjanya harus diberikan
sesuai kesepakatan. Karena apabila pemberian upah tidak diberikan kepada pekerja
yang telah berusah membuat bahan mentah menjadi barang setengah jadi dan
menghasilkan barang setengah jadi menjadi barang jadi yang langsung dapat
digunakan. Dan jerihpayah itu harus ditutup dengan pemberian upah yang tepat
waktu dan adil dalam takaran upah yang diterima agar para pekerja penjadi
bersemangat kembali dalam menghasilkan barang-barang yang berkualitas serta
produktif.
Ketepatan
dalam memberikan upah tersebut juga memberikan nilai tambah atas barang yang
dihasilkan, yakni menepati janji yang ada, memberikan rasa rahmat atas barang
yang telah dihasilkan dan kesejahteraan pun akan tercipta pada pelaku produksi.
Disini adanya unsur timbal balik yang syariat, unsur yang saling membutuhkan
dan mempererat tali persaudaraan antar umat.
Data yang dapat diperoleh dari pengambilan informasi gaji
pegawai negeri Indonesia pada dunia maya yaitu internet di tahun 2011. Bahwa
gaji yang diperoleh pegawai negeri pada golongan I a paling rendah saja senilai
Rp. 1.175.000,- untuk masa kerja 0 tahun dan paling tinggi senilai Rp. 1.675.200,- serta pada golongan IV a paling
rendah gaji yang diberikan senilai Rp. 2.245.200,- untuk masa kerja 0 tahun
lalu gaji yang paling tinggi yang diberikan pada golongan IV a sebesar Rp.
3.473.900,-.
Dapat ditelaah bahwa minimal gaji yang diperoleh pegawai
negeri sipil kurang lebih 1 juta rupiah, itu saja belum ditambah dengan
tambahan penghasilan diluar gaji pokoknya. Kalau dihitung dalam matematis
seperti, dibawah ini :
Gaji
yang diperoleh/ bulan
Pendapatan
se-tahun
Dana
Zakat (2,5%)
Zakat
yang dibayar per tahun
Rp 1,175,000.00
Rp 14,100,000.00
Rp 29,375.00
Rp 352,500.00
Rp 1,675,200.00
Rp 20,102,400.00
Rp 41,880.00
Rp 502,560.00
Pada data diatas telah
tertera, bahwa apabila gaji yang diperoleh seorang PNS golongan I a sebesar Rp
1,175,000.00 pada masa kerja kurang dari 10 tahun. Jadi , dalam setahun dia
memperoleh Rp 14,100,000.00 bahwasanya pendapatan tersebut belum masuk dalam 1
nishab yang mana 1 gram emas = Rp
250,000.00 di tahun 2011.
250,000 x 85 gr (1 nishab) = Rp
21,250,000.00
Gaji
yang diperoleh/ bulan
Pendapatan
se-tahun
Dana
Zakat (2,5%)
Zakat
yang dibayar per tahun
Rp
2,245,200.00
Rp
26,942,400.00
Rp
56,130.00
Rp 673,560.00
Rp
3,473,900.00
Rp
41,686,800.00
Rp
86,847.50
Rp 1,042,170.00
Beda halnya dengan pendapatan
yang diperoleh seorang PNS pada golongan IV a dimana pendapatan dia telah masuk
nishab dan dia wajib mengeluarkan zakat profesi dengan perhitungan dalam
perolehan total pendapatan selama 1 tahun.
Rumusan pengeluaran zakat profesi :
Zakat Profesi = 2,5% x (Penghasilan Total – Pembayaran Hutang
/ Cicilan )
Dan cara menghitung Nisab Zakat Profesi = 520 x harga beras
pasaran per kg
Se-bulan gaji yang diperoleh
Rp 2,245,200.00 dan dalam 1 tahun = Rp 2,245,200.00 x 12
= Rp 26,942,400.00
Perolehan yang didapat dari data di atas bahwa jika
dana zakat tersebut dikumpulkan akan memperoleh dana yang sangat banyak serta
dapat membantu orang-orang yang kekurangan contoh saja :
Pada perekonomian pada penduduk miskin yang ada di
Negara Indonesia ,
Perhitungan penduduk miskin dengan pendekatan makro didasarkan
pada data sampel bukan data sensus, sehingga hasilnya adalah estimasi
(perkiraan). Sumber data yang digunakan adalah Survei Sosial Ekonomi Nasional
(Susenas), yang pencacahannya dilakukan setiap bulan Maret dengan jumlah sampel
68.000 rumah tangga. BPS menyajikan data kemiskinan makro sejak tahun 1984
sehingga perkembangan jumlah dan persentase penduduk miskin bisa diikuti dari
waktu ke waktu.
Data kemiskinan makro yang terakhir dihitung BPS adalah posisi
Maret 2010 dan dirilis tanggal 1 Juli 2010. Jumlah dan persentase penduduk
miskin dihitung per provinsi dengan garis kemiskinan yang berbeda – beda. Di
DKI Jakarta besaran garis kemiskinan mencapai Rp. 331.169 per kapita per bulan,
sementara di papua Rp. 259.128. Data di level nasional merupakan penjumlahan
penduduk miskin di seluruh provinsi, sehingga jumlah penduduk miskin di
Indonesia pada Maret 2010 sebesar 31,02 juta (13,33 persen dari total penduduk)
dengan garis kemiskinan sebesar Rp.211.726 per kapita per bulan. Pada bulan
Maret 2011 BPS akan kembali melakukan pengumpulan data Susenas dan hasil
penghitungan penduduk miskin akan kembali melakukan pengumpulan data Susenas
dan hasil penghitungan penduduk miskin akan dirilis tanggal 1 Juli 2011.
Perkembangan jumlah dan persentase penduduk miskin pada periode 1996-2010 dapat
dilihat pada Grafik 1.
Grafik 1. Perkembangan Jumlah dan Persentase Penduduk Miskin
1996-2010
Dari penduduk Indonesia yang berjumlah 31.020.000 jiwa
yang masih dalam sektor kemiskinan, apabila dana zakat tersebut digunakan untuk
membantu keuangan keluarga miskin dengan perhitungan dana seperti berikut:
Dari jumlah PNS yang ada pada golongan IV a dapat
dihitung sekitar 2.000.000 orang dengan penghasilan yang sama yaitu
(Rp 86,847.50
x 2.000.000 ) / 31.020.000 = Rp 5,599.41
Untuk perorangan akan mendapat bantu dana
sebesar Rp 5,599.41 dan dengan bantuan tersebut
mungkin belum dapat membantu kalau hanya dari PNS pada golongan IV yang pada
masa kerja lebih dari 10 tahun tapi harus ada tambahan dari dana-dana zakat
yang lain.
Dan pada golongan PNS pada IV a masa kerja
kurang dari 10 tahun mendapatkan dana sebesar
(Rp 56,130.00 x 2.000.000) / 31.020.000
= Rp 3,618.95
Dengan perolehan angka tersebut berarti
telah terkumpul dana Rp 5,599.41 + Rp 3,618.95 = Rp 9218.36 yang mana dengan
dana ini dapat pula ditambah dari golongan PNS pada masa kerja lebih dari 25
tahun.
Semisal,
Seorang pegawai memiliki
penghasilan per bulan Rp. 1.500.000,-. Bagaimanakah zakatnya? Jika harga beras
per kilogram Rp. 1.300,- maka nishabnya (menurut zakat pertanian) adalah 653 kg
x Rp 1.300,- = Rp 848.900,-. Maka penghasilan pegawai tersebut telah mencapai
nishab. Zakat yang dikeluarkannya adalah = 2.5 % x Rp 1.500.00,- = Rp 37.500,-.
Seorang
pegawai memiliki penghasilan per tahun Rp. 2.500.00,- . Pada umumnya setahun
para petani mengalami 3 kali panen dengan tingkat teknologi dan jenis bibit
mutakhir.
Berarti nisab per tahun = 3 x Rp 848.900
= Rp 2.546.700,- secara matematis penhasilannya belum mencapai nishab, meskipun
sudah hampir mendekati. Ia belum terkena kewajiban zakat. Namun, ini bukan berarti
ia tak dapat mengeluarkana sadaqah sebesar 2.5%, kurang atau lebih jika
dikehendakinya sendiri dengan keikhlasan.
Seorang
pegawai memiliki penghasilan Rp 250.000,- per bulan. Bagaimana zakatnya?
Penghasilannya per tahun berarti Rp 250.000,- x 12 = Rp 3.000.00,- Ini melebihi
nishab hasil pertanian per tahun. Zakatnya per bulan Rp. 250.000,- x 2,5% = Rp
6.250,-.
Seorang
memiliki rumah kontrakan yang tiap bulannya mendapat uang sewa Rp. 1.000.000,-
Biaya pemeliharaan Rp 50.000,- Berapa zakatnya? Penghasilan bersih = Rp
1.000.000,- - Rp 50.000,- = Rp 950.000,- berarti sampai nishab. Zakatnya 10% x
Rp 950.000,- = Rp 95.000,-.
Seorang
memiliki angkutan kota yang diperoleh dari kredit dengan cicilan Rp 500.000,-
per bulan. Pendapatan setoran per bulan Rp 1.500.000,-. Biaya pemeliharaan dan
nilai susut Rp.100.000,- per bulan. Berapa zakatnya? Penghasilan bersih Rp
1.500.000,- - Rp 100.00,- = Rp 1.400.000,- berarti melebihi nishab. Zakatnya
10% x Rp 1.400.000,- = Rp 140.000,-. Cicilan tidak dihitung pengeluaran karena
pada hakekatnya merupakan harta yang disimpan dan nilai susutnya pun telah
dikeluarkan.
Seorang memiliki penghasilan Rp 1.000.000,- per
bulan dan pada tiap bulan berhasil menabung Rp. 250.000,-. Bagaimana zakatnya
Karena mencapai nishab maka zakatnya 2.5% x Rp 1.000.000,- = Rp 25.000,- Harta
tabungan yang terkumpul selama setahun Rp 3.000.000,-. Di awal tahun harta
tersebut tidak terkena zakat. Namun jika uang tersebut melampaui batas setahun
terkena zakat simpanan yang dinisbatkan kepada nishab emas 85 gram x Rp 25.000
= Rp 2.125.000,- Maka pada awal tahun kedua, penyimpanan uang tersebut terkena
zakat 2,5% x Rp 3.000.000,- = Rp 75.000,-.